Mungkin ini perdebatan yang sudah lama terjadi di antara para ekonom. Apakah negara sebaiknya lebih memprioritaskan kesejahteraan dan kenyamanan rakyat bawah atau pemilik modal?
Di satu sisi, tujuan bernegara jelas menyejahterakan masyarakat. Untuk menyejahterakan masyarakat perlu kegiatan ekonomi. Untuk melakukan kegiatan ekonomi perlu modal dan usaha. Negara bisa memilih melakukan pendekatan setralistik: semua usaha dimiliki negara (seperti di negara-negara komunis), cuma model seperti ini terbukti tidak berhasil di banyak negara karena beberapa alasan: diantaranya tidak efisien, dan juga mematikan kreatifitas dan semangat individu untuk berusaha. Simple-nya orang-orang (pegawai) yang menjalankan bisnis yang dimiliki negara tidak merasa perlu berusaha secara maksimal, karena toh hasilnya akan sama saja, dibagi ke semua orang.
Alternatifnya model kapitalistik yang sekarang diterapkan di banyak negara. Usaha bisa dimiliki individu dan masyarakat. Setiap orang bisa berusaha dan menikmati sendiri hasil usahanya. Kontribusi terhadap negara dan masyarakat dilakukan dalam bentuk pajak. Model seperti ini disebutkan berhasil membangun ekonomi di negara-negara maju. Mayoritas perusahaan-perusahaan besar di bidang teknologi muncul dari model seperti ini. Dan, rasanya sulit untuk berargumen untuk mencari model alternatif. Indonesia-pun jelas memilih model seperti ini.
Cuma, model kapitalistik ini bukan tanpa masalah. Walaupun dikatakan berhasil membangun ekonomi (dan kekayaan suatu negara), namun di banyak negara hasilnya hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki modal dan usaha. Mayoritas warga negara bukan berasal dari keluarga kaya dan tidak memiliki modal dan kemampuan untuk mencapai bahkan tingkat kesejahteraan minimum. Dari statistik (misal Gini index) terjadi ketimpangan ekonomi yang sangat besar di banyak negara yang dikatakan 'sangat maju' sekalipun.
Selain masalah kesenjangan, model kapitalis dikatakan juga berdampak terlalu materalistiknya pemikiran dan tujuan dari banyak orang. Setiap keberhasilan mesti diukur dengan uang, sehingga mengenyampingkan hal lain yang bersifat ideal seperti moral dan juga lingkungan.
Nah, sebetulnya tantangan penyelenggara negara yang memilih model kapitalistik ini adalah bagaimana mengambil sisi positif dari model kapitalisme untuk mengembangkan ekonomi dan mengontrol supaya tidak lepas kendali yang berakibat kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan yang tinggi.
Namun, kenyataan di banyak negara, hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Bahkan yang terjadi sebaliknya: negara dikontrol oleh pemilik modal.
Weekend lalu nonton film Coco bersama keluarga. Mengapa Coco? karena cuma film itu untuk semua umur, dan denger-denger box-office dengan nilai tinggi, jadi mestinya bagus dong.
Dari sisi animasi dan grafik memang film ini top, pixar gitu lho. Gambarnya mulus dengan karakter yang meyakinkan. Sound effect juga bagus. Cuman kok tengkorak ada matanya ya? Mungkin karena kalau tidak ada matanya akan serem kelihatannya.
Dari sisi cerita sebetulnya mengajarkan kasih-sayang sesama manusia terutama sekeluarga. Hal yang sangat baik, menggunakan background budaya di Mexico dimana keluarga di Mexico memajang foto keluarga yang sudah mati agar keluarga tersebut tetap hidup pada dunia orang mati (kontradiksi ya, maksudnya supaya orang mati itu tetap ada pada dunia orang mati, tidak menghilang selamanya karena sudah dilupakan orang hidup).
Alur cerita ditampilkan dengan apik dan menarik dari awal sampai akhir dengan detil yang memukau sehingga tidak terasa menonton film-nya sampai akhir. Bagus buat hiburan, walau kalau dipikir-pikir banyak hal tidak masuk akalnya. Tengkorak yang masih hidup, OK walaupun itu hanya pilihan representasi dari orang mati yang masih ada pada dunia orang mati. Tapi konsep orang mati akan sirna jika tidak diingat mungkin sebaiknya tidak dilihat secara harfiah. namun maksudnya manusia mungkin bisa hidup selamanya jika mempunyai karya yang bisa diingat dan bermanfaat bagi manusia.
Saya, tahun 2010-2011 sudah mulai mendengar tentang bitcoin, yang sering disebut sebagai crypto-currency.
Pada saat itu yang terpikir hal positif, yaitu (1) kemampuan pembayaran yang lebih mudah dan cepat. Dan (2) tidak adanya campur tangan satu entitas (misal bank sentral/pemerintah) terhadap jumlah dan sirkulasi uang, jadi murni mekanisme pasar. Well, yang kedua sebetulnya belum tentu positif. Waktu itu juga tidak ada kepikiran untuk membeli karena ya, nanti saja kalau sudah ramai yang menggunakan.
Akhir-akhir ini bitcoin heboh lagi dan masuk berita hampir tiap hari. Ternyata heboh karena harganya yang sangat tinggi, dalam beberapa bulan terakhir grafik harganya meroket. Kalau dilihat dalam 1 tahun terakhir harganya meningkat lebih dari 10x lipat. Wow. Tentu langsung kepikiran kenapa dulu tidak beli bitcoin ketika harganya 1,2, atau 3 digit dolar? Kalau dulu beli bitcoin 10 biji aja sekarang sudah jadi milyarder kan.
Namun, kalau beli sekarang juga merasa ragu karena: (1) Kok seperti bubble ya, harga meroket, namun tanpa dasar/alasan yang jelas karena orang merasa harga bitcoin akan terus naik jadi ya harganya terus naik (2) Harganya sudah mahal (3) Tidak merasa aman karena banyak kasus akun bitcoin di-hack, kasus terakhir adalah kasus youbit korea yang kehilangan banyak bitcoin nasabahnya.
Jadi ceritanya, banyak pengguna bitcoin menggunakan exchange-service (seperti youbit, coinbase, dll) untuk kemudahan transaksi. Kenapa perlu exchange? Karena bitcoin itu mempunyai satu kelemahan fundamental (hanya dapat memproses beberapa transaksi perdetik -- tergantung ukuran transaksinya, tapi mestinya dibawah 10). Jadi sangat lambat dibanding transaksi normal di bank/kartu kredit. Bayangkan jika banyak yang menggunakan, tentu akan banyak antrian dan tentu saja antrian untuk commit transaksi bisa lebih dari satu hari bahkan hitungan minggu.
Dengan menggunakan exchange-service, kita menitipkan bitcoin kita ke exchange tersebut dan tidak perlu antri karena transaksi akan ditangani dulu oleh exchange-nya tentu merchant dan buyer mesti punya akun di exchange tsb. Jadi transaksi bisa selesai dengan cepat walaupun untuk commit ke block-chain utama dari bitcoinnya masih perlu waktu. O iya, apa itu block-chain? Block-chain adalah teknologi untuk merekam transaksi bitcoin sehingga resistant terhadap tampering (perubahan data transaksi), jadi tekniknya sama dengan hash/signature-chain yang bisa digunakan untuk menyimpan history data sehingga perubahan terhadap history tsb diketahui. Caranya sebetulnya simple, karena karakteristik dari one-way hash function, jika kita membuat chain dari hasil fungsi hash tsb sehingga yang satu berkaitan dengan yang lain akan sangat sulit untuk membuat ulang tanpa mengulang keseluruhan history/transaksi.
Untuk bitcoin sendiri memang menggunakan teknik kriptografi untuk melindungi data transaksi: (1) mengumpulkan satu data transaksi menjadi satu blok dengan tekniknya Lamport (hash-tree), kemudian (2) merekam rantai hash untuk masing-masing block (sehingga satu blok menyimpan hash induknya (3) hash untuk masing-masing block juga mesti memenuhi satu karakteristk tertentu (ada bagian yang mesti memiliki angka 0 sejumlah tertentu). Nah, yang ketiga ini diperlukan untuk implementasi konsep mining, jadi karena tidak gampang mencari hash (256 bit) dengan karakteristik tersebut, yang pertama mendapatkan akan diberi reward dalam bentuk bitcoin juga disamping biaya transaksi yang nanti dipotong dari masing-masing buyer. Jadi reward bitcoin dan juga biaya transaksi ini membuat akan selalu ada yang mau memproses transaksi bitcoin.
Terlihat mulai complicated. Namun kesimpulannya kurang lebih begini: Untuk implementasi bitcoin kita perlu implementasi block-chain yang merekam data transaksi dalam bentuk berapa uang buyer dan merchant sebelum dan sesudah transaksi. Kemudian block-chain itu perlu disimpan. Dimana tempat menyimpannya? karena modelnya distributed memang block-chain itu disimpan dimana-mana siapapun boleh/bisa menyimpannya. Sehingga tidak akan ada yang bisa memalsukannya (namun ada kerugiannya karena datanya menjadi sangat besar - dalam puluhan GB-an). Kemudian perlu ada yang memproses transaksi dengan menambahkan data transaksi ke block-chain. Kemudian supaya ada pertambahan jumlah uang, entitas yang memproses transaksi diberi reward dalam bitcoin juga sehingga jumlah uang yang beredar bisa bertambah dan ada yang mau memproses transaksi. Namun memang ada pembatasan jumlah uang nantinya secara alamiah karena keterbatasan panjang hash, yang itu dihitung 21 juta bitcoin.
Jadi, kelihatannya bitcoin itu memiliki beberapa kelemahan:
Menurut saya, dari 3 hal diatas sebetulnya bitcoin itu tidak sustainable jika digunakan sebagai uang (untuk transaksi). Sebetulnya terutama karena 2 dan 3 membuat harganya tidak dapat stabil seperti uang biasa. Bahkan saya pikir nomor 3 cukup fatal karena berarti juga tidak ada jaminan pemerintah secara legal bahwa uang itu berlaku/bernilai.
Kenapa banyak orang yang membeli (investasi?) bitcoin? Sepertinya memang karena alasan berharap harganya naik dan kemudian nanti dijual dengan harga lebih tinggi sehingga mendapatkan keuntungan..... memang bukan untuk digunakan sebagai alat transaksi. Nah, pertanyaannya sampai kapan orang berpikiran begitu? Kapan nanti orang akan merasa ternyata bitcoin memiliki 3 kelemahan diatas? Dan ketika itu harganya pasti akan jatuh karena berkurangnya permintaan.
Kalau melihat situasi sekarang sepertinya harga bitcoin akan bisa terus naik karena masih di-backup oleh investor dengan kocek besar. Jadi selama mereka tidak menjual bitcoin mereka dalam jumlah besar sih harga bitcoin kemungkinan akan tetap tinggi.